infoemas.id – Fenomena gagal bayar alias galbay pada pinjaman daring ternyata bukanlah hal baru di Indonesia. International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia mencatat bahwa galbay telah terjadi sejak sekitar 20 tahun lalu. Awalnya, sebagian besar gagal bayar muncul dari kartu kredit dan kredit kendaraan, bukan dari pinjol seperti sekarang.
Pendiri IARFC Indonesia, Aidil Akbar Madjid, menyampaikan bahwa pada era awal 2000-an galbay lebih dominan di produk kredit tradisional seperti KTA. “Sebenarnya gagal bayar itu bukan hal baru, sudah lama ada. Dari 20 tahun lalu sudah ada. Hanya yang membedakan adalah produk yang dipakai,” ujarnya saat acara Generasi Anti-Galbay, Rabu, di Jakarta.
Evolusi Produk Kredit dan Peran Media Sosial
Seiring waktu, jenis pinjaman berkembang pesat. Produk kredit konsumtif, pembiayaan kendaraan, dan pinjaman online ikut menjadi arena baru galbay. Media sosial mempercepat penyebaran praktik ini. Aidil menyebut kelompok atau komunitas galbay kini muncul dalam platform digital sejak 5–10 tahun terakhir.
Dulu, memperoleh pinjaman saja sulit. Namun sekarang, lewat aplikasi dan media sosial, akses pinjam uang semakin mudah. Meski demikian, ia menegaskan bahwa klaim bahwa galbay adalah fenomena mutakhir tidak tepat.
Konsekuensi Gagal Bayar: Finansial dan Psikologis
Konsekuensi galbay melampaui sekadar kehilangan finansial. Aidil menekankan bahwa korban galbay sering mengalami tekanan psikologis akibat teror dari pihak penagih. Beberapa bahkan diganggu melalui nomor kontak darurat milik orang lain, meski mereka tak pernah berutang.
“Konsekuensi finansial, karena otomatis kita kesulitan keuangan, tak bisa nabung atau cicil. Belum lagi credit scoring yang berdampak masa depan mereka, serta efek psikologis,” jelasnya.
Selain dampak individu, galbay juga terjadi pada pembiayaan besar, seperti restrukturisasi utang perusahaan. Ia memperingatkan bahwa fenomena ini bisa menjalar ke sektor yang lebih luas.
Pentingnya Edukasi dan Regulasi Tegas
Agar fenomena galbay tidak semakin merajalela, edukasi ke masyarakat menjadi kunci. Konsumen harus paham risiko pinjaman dan konsekuensi gagal bayar. Regulasi juga perlu diperkuat agar penagihan mematuhi etika dan hukum.
Peraturan yang mengatur transparansi bunga, biaya tambahan, dan perlindungan data wajib ditegakkan. Dengan demikian, penerapan pinjaman daring bisa tetap sehat dan tidak merugikan masyarakat.
Fenomena gagal bayar telah melintasi era kredit tradisional hingga zaman pinjol modern. Tanpa langkah edukatif dan regulasi tegas, saga galbay akan terus berlanjut.
